Thursday 28 June 2012

‘Hukum dan Keadilan Masyarakat’ bagi Rakyat Miskin Mahal Harganya

Sebagai negara hukum (rechtstaat), Indonesia saat ini sedang dihadapkan pada persoalan hukum dan keadilan masyarakat yang sangat serius. Hukum dan keadilan masyarakat seolah seperti dua kutub yang saling terpisah, tidak saling mendekat.
Kondisi ini tentu saja berseberangan dengan dasar filosofis dari hukum itu sendiri, di mana hukum dilahirkan tidak sekedar untuk membuat tertib sosial (social order), tapi lebih dari itu, bagaimana hukum dilahirkan dapat memberikan rasa keadilan bagi masyarakat.

Keadilan hukum bagi masyarakat, terutama masyarakat miskin di negeri ini adalah sesuatu barang yang mahal. Keadilan hukum hanya dimiliki oleh orang-orang yang memiliki kekuatan dan akses politik dan ekonomi saja. Sementara, masyarakat lemah atau miskin sangat sulit untuk mendapatkan akses keadilan hukum dan bahkan mereka kerapkali menjadi korban penegakan hukum yang tidak adil.




Fenomena ketidakadilan hukum ini terus terjadi dalam praktik hukum di negeri ini. Munculnya pelbagai aksi protes terhadap aparat penegak hukum di pelbagai daerah, menunjukkan sistem dan praktik hukum kita sedang bermasalah. Menurut Ahmad Ali (2005), supremasi hukum dan keadilan hukum yang menjadi dambaan masyarakat tak pernah terwujud dalam realitas riilnya, keterpurukan hukum di Indonesia malah semakin menjadi-jadi. Kepercayaan masyarakat terhadap law enforcement semakin memburuk.
Keadilan hukum bagi hak masyarakat harus dijamin dan dilindungi oleh negara. Hak untuk mendapatkan keadilan hukum sama derajatnya dengan hak masyarakat untuk mendapatkan keadilan sosial, politik, dan ekonomi. Namun dalam praktiknya, masyarakat miskin, masih sulit untuk mendapatkan akses terhadap keadilan hukum. Akses tersebut adalah jalan yang dilalui oleh masyarakat untuk menggapai keadilan di luar maupun di dalam pengadilan.
Aturan normatif tersebut tak seindah praktik di lapangan. Proses penegakan hukum yang seharusnya mampu melahirkan keadilan hukum, justru melahirkan ketidakadilan hukum. Dan kelompok masyarakat yang paling rentan dan sering menjadi korban ketidakadilan hukum ini adalah masyarakat yang masuk kategori lemah dan miskin. Sebaliknya proses penegakan hukum lebih cenderung berpihak pada kelompok kecil masyarakat yang memiliki akses dan kekuatan ekonomi dan politik-kekuasaan.
Buku ini merupakan hasil penelitian penulis untuk kepentingan menyelesaikan S2 Sosiologi di Pascasarjana Fisip Universitas Airlangga (Unair) Surabaya.

ccontoh kepada Putusan bersalah yang dijatuhkan kepada AAL karena dituduh mencuri sandal milik seorang anggota polisi semakin menunjukkan, hukum hanya keras terhadap orang lemah. Hukum tak berdaya pada orang yang dekat dengan kekuasaan. Rasa keadilan hampir mati.

Demikian kesimpulan yang bisa ditarik dari percakapan Kompas dengan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, M Zaidun; Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, Mudji Sutrisno, SJ; Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Indriyanto Seno Adji dan Hikmahanto Juwana; sosiolog Soetandyo Wignjosoebroto; Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Erna Ratnaningsih; Febri Diansyah dari Indonesia Corruption Watch; serta Direktur Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Jakarta Ali Munhanif, Kamis (5/1), secara terpisah.
Mereka menanggapi putusan hakim tunggal Rommel F Tampubolon dalam sidang di Pengadilan Negeri (PN) Palu, Sulawesi Tengah, yang menilai AAL bersalah dan menyerahkan pembinaannya kepada orangtua. AAL dituduh mencuri sandal jepit merek Eiger nomor 43 milik Briptu Ahmad Rusdi Harahap, anggota Brimob Polda Sulteng. Namun, di persidangan, yang dijadikan alat bukti adalah sandal merek Ando nomor 9,5. Putusan hakim juga tak menyebutkan sandal itu milik Ahmad (Kompas, 5/1).
Putusan dari hakim Rommel mungkin tak bermasalah secara legal. Namun, mengingat perlakuan dan vonis yang rendah pada pelaku korupsi, menurut Zaidun, putusan itu tidak memenuhi rasa keadilan rakyat. ”Sanksi pada kasus kenakalan anak adalah pembinaan oleh orangtuanya. Namun, prosesnya tidak bagus. AAL diperlakukan seperti terdakwa dewasa dan tidak ada pendekatan manusiawi,” tuturnya.
Mudji Sutrisno dan Ali Munhanif, secara terpisah, mengakui, hukum di negeri ini cenderung memihak penguasa dan pemilik modal. Elite dapat berkelit dari hukum dengan kekuasaan dan uang. Rakyat kecil sulit untuk memperoleh keadilan dan kerap menjadi korban. Kasus AAL bukanlah yang pertama di negeri ini yang menggambarkan ”matinya” rasa keadilan.
Ditambahkan Febri, hukum di Indonesia timpang. Buktinya, banyak terdakwa korupsi divonis rendah, bahkan bebas. Namun, AAL dan sejumlah orang kecil lain yang ”terpaksa” melakukan pelanggaran justru dihukum.
Menurut Hikmahanto, tak hanya perangkat hukum, aparat penegak hukum dan pemerintah juga belum berpihak terhadap rakyat. Mereka juga tak membantu rakyat kecil untuk mendapatkan keadilan ketika berhadapan dengan hukum. Hukum hanya tajam jika ke bawah dan tumpul jika berhadapan dengan kalangan atas.
”Saya prihatin. Hakim terlalu legalistik jika pihak yang lemah menjadi terdakwa. Untuk kasus korupsi, hakim justru tak menggunakan kacamata kuda, tetapi seolah-olah memahami tuduhan korupsi tak terbukti dengan melihat konteks,” ujar Hikmahanto di Jakarta, Kamis. Keadilan pun tidak diperoleh rakyat kecil.
Erna pun mengakui, sampai kini penegakan hukum hanya tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas. Berkaca dari vonis bersalah terhadap AAL dan bebasnya puluhan terdakwa korupsi, rakyat seperti mendapatkan gambaran bahwa pemerintah tidak pernah memberikan keadilan kepada mereka.
Menurut Hikmahanto, ketidakadilan yang terus-menerus dirasakan rakyat bisa membuat mereka tak tahan dan berontak. Seharusnya pemerintah peka terhadap rasa ketidakadilan yang terus dialami rakyat.
Muji mengakui, hukum di Indonesia saat ini justru menjadi sumber dari ketidakdilan. Itu terjadi karena hampir semua perangkat hukum memihak pada kekuasaan dan modal, bukan memihak pada kebenaran dan keadilan. Keadilan ditentukan oleh permainan kepentingan, kekuasaan, jabatan, dan uang.
”Kondisi ini berbahaya karena yang berlaku dalam kehidupan kita akhirnya seperti hukum rimba. Siapa kuat, dia yang menang. Masyarakat alami krisis dan hukum akan dilecehkan,” katanya.
Bagi Ali, hukum yang memanjakan penguasa dan menekan rakyat akibat dominannya politik dalam menyelesaikan problem bangsa. Banyak persoalan bangsa, termasuk kasus hukum, diselesaikan melalui negosiasi politik dengan mengandalkan legitimasi politik.
Terlalu legalistik
Menurut Soetandyo, putusan bersalah yang dijatuhkan kepada AAL karena hakim terlalu legalistik. Hakim tidak mampu memahami arti dan makna sekaligus kearifan yang terkandung dalam aturan hukum.
”Undang-undang itu dead letter law (hukum yang mati). Hukum menjadi aktif dan dinamik melalui kata hati dan tafsir hakim. Kalau putusannya aneh, itu bukan salah UU, melainkan hakimnya. Hakim harus pandai memberi putusan yang bisa diterima,” ujarnya, Kamis.
Hakim bukan komputer yang mengaplikasikan ketentuan tanpa melihat substansi hukum sendiri, yaitu rasa keadilan. Misalnya, aturan mengatur mencuri adalah sebuah tindak pidana. Pelaku tindak pidana harus dihukum. Ketika seseorang didapati mencuri sandal jepit, ia harus dihukum. Hal itu tak benar. Hakim, kata Soetandyo, seharusnya mempertimbangkan hal lain, seperti siapa pelaku pencurian itu.
Hukum, menurut dia, terasa tajam untuk rakyat kecil karena masyarakat tidak dilindungi oleh organisasi atau struktur. Kekuatan politik masyarakat rendah. Lain dengan pelaku korupsi yang justru dilindungi organisasi atau struktur pemerintahan.
Indriyanto mengutarakan, hakim sebenarnya bisa membebaskan AAL meski terbukti mencuri. Sifat perbuatan melawan hukum dalam suatu tindak pidana bisa dihilangkan dengan cara melihat besarnya kerugian atau dampaknya terhadap masyarakat yang luas. Untuk kasus kecil, seperti pencurian sandal jepit, pisang, dan kakao, pendekatan seperti itu yang juga disebut pendekatan keadilan restoratif (restorative justice). Pendekatan itu juga bisa digunakan pada tingkat penyidikan.
Ketua Muda Pidana Khusus Mahkamah Agung (MA) Djoko Sarwoko mengungkapkan, hakim masih sulit menerapkan pendekatan restoratif dalam menangani perkara. Keadilan restoratif sebenarnya masih merupakan wacana dan hingga kini belum dicantumkan dalam UU.

Djoko pun mengakui, MA melakukan uji coba penerapan keadilan restoratif di sejumlah pengadilan. Terkait kasus sandal jepit, ia berpendapat, seharusnya tak perlu sampai ke pengadilan.
Di Serang, Kamis, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsuddin mengakui sedang memikirkan payung hukum untuk menghindarkan proses penanganan yang berlebihan terhadap tindak pidana yang melibatkan rakyat kecil dan menyangkut kasus kecil.
Dari Cilacap, Jawa Tengah, dilaporkan, dua pemuda yang diduga mengalami keterbelakangan mental kini terancam dihukum karena disangka mencuri sembilan tandan pisang. Kendati ada perdamaian dengan pemilik pisang, polisi tetap memproses hukum dan menahan keduanya, tanpa didampingi penasihat hukum.

Hak cipta


Hak cipta (lambang internasional: ©, Unicode: U+00A9) adalah hak eksklusif Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengatur penggunaan hasil penuangan gagasan atau informasi tertentu. Pada dasarnya, hak cipta merupakan "hak untuk menyalin suatu ciptaan". Hak cipta dapat juga memungkinkan pemegang hak tersebut untuk membatasi penggandaan tidak sah atas suatu ciptaan. Pada umumnya pula, hak cipta memiliki masa berlaku tertentu yang terbatas.
Hak cipta berlaku pada berbagai jenis karya seni atau karya cipta atau "ciptaan". Ciptaan tersebut dapat mencakup puisidrama, serta karya tulislainnya, film, karya-karya koreografis (taribalet, dan sebagainya), komposisi musikrekaman suaralukisangambarpatungfotoperangkat lunak komputersiaran radio dan televisi, dan (dalam yurisdiksi tertentu) desain industri.
Hak cipta merupakan salah satu jenis hak kekayaan intelektual, namun hak cipta berbeda secara mencolok dari hak kekayaan intelektual lainnya (seperti paten, yang memberikan hak monopoli atas penggunaan invensi), karena hak cipta bukan merupakan hak monopoli untuk melakukan sesuatu, melainkan hak untuk mencegah orang lain yang melakukannya.
Hukum yang mengatur hak cipta biasanya hanya mencakup ciptaan yang berupa perwujudan suatu gagasan tertentu dan tidak mencakup gagasan umum, konsep, fakta, gaya, atau teknik yang mungkin terwujud atau terwakili di dalam ciptaan tersebut. Sebagai contoh, hak cipta yang berkaitan dengan tokoh kartun Miki Tikus melarang pihak yang tidak berhak menyebarkan salinan kartun tersebut atau menciptakan karya yang meniru tokoh tikus tertentu ciptaan Walt Disney tersebut, namun tidak melarang penciptaan atau karya seni lain mengenai tokoh tikus secara umum.
Di Indonesia, masalah hak cipta diatur dalam Undang-undang Hak Cipta, yaitu, yang berlaku saat ini, Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002. Dalam undang-undang tersebut, pengertian hak cipta adalah "hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku" (pasal 1 butir 1).
SEJARAH HAK CIPTA
Konsep hak cipta di Indonesia merupakan terjemahan dari konsep copyright dalam bahasa Inggris (secara harafiah artinya "hak salin").Copyright ini diciptakan sejalan dengan penemuan mesin cetak. Sebelum penemuan mesin ini oleh Gutenberg, proses untuk membuat salinan dari sebuah karya tulisan memerlukan tenaga dan biaya yang hampir sama dengan proses pembuatan karya aslinya. Sehingga, kemungkinan besar para penerbitlah, bukan para pengarang, yang pertama kali meminta perlindungan hukum terhadap karya cetak yang dapat disalin.
Awalnya, hak monopoli tersebut diberikan langsung kepada penerbit untuk menjual karya cetak. Baru ketika peraturan hukum tentangcopyright mulai diundangkan pada tahun 1710 dengan Statute of Anne di Inggris, hak tersebut diberikan ke pengarang, bukan penerbit. Peraturan tersebut juga mencakup perlindungan kepada konsumen yang menjamin bahwa penerbit tidak dapat mengatur penggunaan karya cetak tersebut setelah transaksi jual beli berlangsung. Selain itu, peraturan tersebut juga mengatur masa berlaku hak eksklusif bagi pemegang copyright, yaitu selama 28 tahun, yang kemudian setelah itu karya tersebut menjadi milik umum.
Berne Convention for the Protection of Artistic and Literary Works ("Konvensi Bern tentang Perlindungan Karya Seni dan Sastra" atau "Konvensi Bern") pada tahun 1886 adalah yang pertama kali mengatur masalah copyright antara negara-negara berdaulat. Dalam konvensi ini, copyright diberikan secara otomatis kepada karya cipta, dan pengarang tidak harus mendaftarkan karyanya untuk mendapatkan copyright. Segera setelah sebuah karya dicetak atau disimpan dalam satu media, si pengarang otomatis mendapatkan hak eksklusif copyright terhadap karya tersebut dan juga terhadap karya derivatifnya, hingga si pengarang secara eksplisit menyatakan sebaliknya atau hingga masa berlaku copyright tersebut selesai.
Pada tahun 1958Perdana Menteri Djuanda menyatakan Indonesia keluar dari Konvensi Bern agar para intelektual Indonesia bisa memanfaatkan hasil karya, cipta, dan karsa bangsa asing tanpa harus membayar royalti.
Pada tahun 1982Pemerintah Indonesia mencabut pengaturan tentang hak cipta berdasarkan Auteurswet 1912 Staatsblad Nomor 600 tahun 1912 dan menetapkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta, yang merupakan undang-undang hak cipta yang pertama di Indonesia[1]. Undang-undang tersebut kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987, Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997, dan pada akhirnya dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 yang kini berlaku.
Perubahan undang-undang tersebut juga tak lepas dari peran Indonesia dalam pergaulan antarnegara. Pada tahun 1994, pemerintah meratifikasi pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization – WTO), yang mencakup pula Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Propertyrights - TRIPs ("Persetujuan tentang Aspek-aspek Dagang Hak Kekayaan Intelektual"). Ratifikasi tersebut diwujudkan dalam bentuk Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994. Pada tahun 1997pemerintah meratifikasi kembali Konvensi Bern melalui Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1997 dan juga meratifikasi World Intellectual Property Organization Copyrights Treaty ("Perjanjian Hak Cipta WIPO") melalui Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1997[2].

Perolehan hak cipta

Setiap negara menerapkan persyaratan yang berbeda untuk menentukan bagaimana dan bilamana suatu karya berhak mendapatkan hak cipta; di Inggris misalnya, suatu ciptaan harus mengandung faktor "keahlian, keaslian, dan usaha". Pada sistem yang juga berlaku berdasarkan Konvensi Bern, suatu hak cipta atas suatu ciptaan diperoleh tanpa perlu melalui pendaftaran resmi terlebih dahulu; bila gagasan ciptaan sudah terwujud dalam bentuk tertentu, misalnya pada medium tertentu (seperti lukisanpartitur lagu, fotopita video, atau surat), pemegang hak cipta sudah berhak atas hak cipta tersebut. Namun demikian, walaupun suatu ciptaan tidak perlu didaftarkan dulu untuk melaksanakan hak cipta, pendaftaran ciptaan (sesuai dengan yang dimungkinkan oleh hukum yang berlaku pada yurisdiksi bersangkutan) memiliki keuntungan, yaitu sebagai bukti hak cipta yang sah.
Pemegang hak cipta bisa jadi adalah orang yang memperkerjakan pencipta dan bukan pencipta itu sendiri bila ciptaan tersebut dibuat dalam kaitannya dengan hubungan dinas. Prinsip ini umum berlaku; misalnya dalam hukum Inggris (Copyright Designs and Patents Act1988) dan Indonesia (UU 19/2002 pasal 8). Dalam undang-undang yang berlaku di Indonesia, terdapat perbedaan penerapan prinsip tersebut antara lembaga pemerintah dan lembaga swasta.

Ciptaan yang dapat dilindungi

Ciptaan yang dilindungi hak cipta di Indonesia dapat mencakup misalnya bukuprogram komputerpamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, ceramahkuliahpidato, alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuanlagu ataumusik dengan atau tanpa teks, dramadrama musikaltarikoreografipewayanganpantomimseni rupa dalam segala bentuk (sepertiseni lukisgambarseni ukir, seni kaligrafiseni pahatseni patungkolase, dan seni terapan), arsitekturpeta, seni batik (dan karya tradisional lainnya seperti seni songket dan seni ikat), fotografisinematografi, dan tidak termasuk desain industri (yang dilindungi sebagai kekayaan intelektual tersendiri). Ciptaan hasil pengalihwujudan seperti terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai (misalnya buku yang berisi kumpulan karya tulis, himpunan lagu yang direkam dalam satu media, serta komposisi berbagai karya tari pilihan), dandatabase dilindungi sebagai ciptaan tersendiri tanpa mengurangi hak cipta atas ciptaan asli (UU 19/2002 pasal 12).

Penanda hak cipta

Dalam yurisdiksi tertentu, agar suatu ciptaan seperti buku atau film mendapatkan hak cipta pada saat diciptakan, ciptaan tersebut harus memuat suatu "pemberitahuan hak cipta" (copyright notice). Pemberitahuan atau pesan tersebut terdiri atas sebuah huruf c di dalam lingkaran (yaitu lambang hak cipta, ©), atau kata "copyright", yang diikuti dengan tahun hak cipta dan nama pemegang hak cipta. Jika ciptaan tersebut telah dimodifikasi (misalnya dengan terbitnya edisi baru) dan hak ciptanya didaftarkan ulang, akan tertulis beberapa angka tahun. Bentuk pesan lain diperbolehkan bagi jenis ciptaan tertentu. Pemberitahuan hak cipta tersebut bertujuan untuk memberi tahu (calon) pengguna ciptaan bahwa ciptaan tersebut berhak cipta.
Pada perkembangannya, persyaratan tersebut kini umumnya tidak diwajibkan lagi, terutama bagi negara-negara anggota Konvensi Bern. Dengan perkecualian pada sejumlah kecil negara tertentu, persyaratan tersebut kini secara umum bersifat manasuka kecuali bagi ciptaan yang diciptakan sebelum negara bersangkutan menjadi anggota Konvensi Bern.
Lambang © merupakan lambang Unicode 00A9 dalam heksadesimal, dan dapat diketikkan dalam (X)HTML sebagai ©©, atau ©

Jangka waktu perlindungan hak cipta

Hak cipta berlaku dalam jangka waktu berbeda-beda dalam yurisdiksi yang berbeda untuk jenis ciptaan yang berbeda. Masa berlaku tersebut juga dapat bergantung pada apakah ciptaan tersebut diterbitkan atau tidak diterbitkan. Di Amerika Serikat misalnya, masa berlaku hak cipta semua buku dan ciptaan lain yang diterbitkan sebelum tahun 1923 telah kadaluwarsa. Di kebanyakan negara di dunia, jangka waktu berlakunya hak cipta biasanya sepanjang hidup penciptanya ditambah 50 tahun, atau sepanjang hidup penciptanya ditambah 70 tahun. Secara umum, hak cipta tepat mulai habis masa berlakunya pada akhir tahun bersangkutan, dan bukan pada tanggal meninggalnya pencipta.
Di Indonesia, jangka waktu perlindungan hak cipta secara umum adalah sepanjang hidup penciptanya ditambah 50 tahun atau 50 tahun setelah pertama kali diumumkan atau dipublikasikan atau dibuat, kecuali 20 tahun setelah pertama kali disiarkan untuk karya siaran, atau tanpa batas waktu untuk hak moral pencantuman nama pencipta pada ciptaan dan untuk hak cipta yang dipegang oleh Negara atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama (UU 19/2002 bab III dan pasal 50).

Pendaftaran hak cipta di Indonesia

Di Indonesia, pendaftaran ciptaan bukan merupakan suatu keharusan bagi pencipta atau pemegang hak cipta, dan timbulnya perlindungan suatu ciptaan dimulai sejak ciptaan itu ada atau terwujud dan bukan karena pendaftaran[2]. Namun demikian, surat pendaftaran ciptaan dapat dijadikan sebagai alat bukti awal di pengadilan apabila timbul sengketa di kemudian hari terhadap ciptaan[1]. Sesuai yang diatur pada bab IV Undang-undang Hak Cipta, pendaftaran hak cipta diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HKI), yang kini berada di bawah [Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia]]. Pencipta atau pemilik hak cipta dapat mendaftarkan langsung ciptaannya maupun melalui konsultan HKI. Permohonan pendaftaran hak cipta dikenakan biaya (UU 19/2002 pasal 37 ayat 2). Penjelasan prosedur dan formulir pendaftaran hak cipta dapat diperoleh di kantor maupun situs web Ditjen HKI. "Daftar Umum Ciptaan" yang mencatat ciptaan-ciptaan terdaftar dikelola oleh Ditjen HKI dan dapat dilihat oleh setiap orang tanpa dikenai biaya.


Ketika Kinerja KPK Buat Gubernur Riau Ketakutan


Ketakutan Gubernur Riau, Rusli Zaenal disinyalir terus meningkat seiring aktifnya kinerja penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam mengungkap kasus suap pembahasan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 6 mengenai penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON) di Riau.
Hal itu terbukti dari pernyataan Rusli selaku Ketua PB PON 2012 saat menggelar jumpa pers launching 'theme song' PON 2012 di Bloeming, FX Mall, Jakarta, Kamis (10/5/2012) lalu.
Menurutnya, pemeriksaan atas beberapa pejabat Riau termasuk dirinya oleh KPK terkait kasus korupsi pembangunan venue Pekan Olah Raga Nasional (PON) Riau 2012 mengganggu persiapan multi-event terbesar di Indonesia tersebut yang akan digelar 6-20 September mendatang.
Dijelaskan dia, dengan adanya pemeriksaan tersebut maka ada rasa was-was dan ragu-ragu di dalam pengambilan keputusan, karena tidak ingin membuat kesalahan.
"Saat ini kami dalam kondisi sangat kritis. Karena dengan sisa waktu yang sangat sedikit, kami harus menyelesaikan persiapan venue, akomodasi, transportasi hingga anggaran. Di sisi lain ada proses hukum yang harus ditaati, ini yang membuat gelisah banyak pihak, bahwa mereka takut berbuat kesalahan," ujar Rusli.
Di sisi lain, pihak KPK melalui Juru Bicaranya, Johan Budi mengatakan ketakutan Rusli sungguh tidak beralasan. Pasalnya, lanjut Johan pihaknya sama sekali tidak mengganggu proses persiapan maupun pengajuan anggaran yang tengah dilakukan oleh para pihak penyelenggara PON tersebut.
"Jadi seharusnya, jangan khawatir soal itu, karena kami menindak terkait penerimaan uang (suap) saat pembahasan Perda bukan proses pembahasan perda," ujar Johan saat dikonfirmasi wartawan di Kantor KPK, Jakarta, Senin (21/5/2012).
Seperti diketahui, pada kasus PON Riau ini, KPK telah menetapkan dua pejabat lagi sebagai tersangka kasus dugaan suap PON Riau. Mereka yakni mantan Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga (Kadispora) Riau Lukman Abbas dan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Riau, Taufan Andoso Yakin.
     
Sementara dari informasi yang dihimpun Tribunnews.com, pada kasus ini, KPK tidak hanya menelusuri suap pembahasan Perda Nomor 6/2010 Riau saja, namun selaras dengan itu, KPK juga tengah menelusuri dugaan suap pada pembahasan Perda Nomor 5 Tahun 2008 tentang pengikatan anggaran pembangunan main stadium.
Rusli sendiri dalam hal ini telah dicegah bepergian ke luar negeri oleh Ditjen Imigrasi Kemenkumham sesuai permohonan penyidik KPK.

Kasus Suap PON Riau, KPK Periksa 3 Pegawai Adhi Karya


 Penyidik KPK memanggil tiga pegawai PT Adhi Karya. Mereka diperiksa terkait dugaan suap perubahan Peraturan Daerah (Perda) provinsi Riau nomor 6 tahun 2010 tentang dana anggaran pembangunan venue menembak untuk PON XVIII di Provinsi Riau.

Ketiga pegawai tersebut bernama Hafiz Bambang Pamungkas, M Arief Taufiqurahman dan Anis Anjani.

"Ketiganya diperiksa untuk pengembangan penyidikan," ujar Kabag Pemberitaan dan Informasi, Priharsa Nugraha, ketika dihubungi, Senin (25/6/2012).

KPK sebelumnya juga pernah memeriksa Kepala Divisi Konstruksi III PT Adhi Karya, Adji Satmoko. Pada kasus ini, KPK pernah pula menggeledah kantor PT Adhi Karya Divisi Medan.

KPK menetapkan enam tersangka dalam kasus suap ini. Mereka yakni mantan Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga Riau Lukman Abbas dan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Riau Taufan Andoso Yakin.

Dua anggota DPRD Riau yakni Muhammad Faisal Aswan dan Muhammad Dunir juga jadi tersangka bersama mantan Kepala Seksi Sarana dan Prasarana Dinas Pemuda dan Olahraga Riau Eka Darma Putra dan staf PT Pembangunan Perumahan Rahmat Syahputra.

KPK tengah mulai menelusuri ke pihak konsorsium pembangun venue PON 2012 terkait suap DPRD Riau. Pembangunan fasilitas PON tersebut dilakukan melalui konsorsium beberapa perusahaan antara lain PT Pembangunan Perumahan, PT Wijaya Karya dan PT Adhi Karya.

Kabarnya, konsorsium perusahaan itu patungan untuk memberi fee pelicin kepada pihak DPRD. Nilai kontrak proyek tersebut sekitar Rp 832,4 miliar dengan masa pengerjaan selama 787 hari kalender dari 2009 sampai 2011. Alokasi anggaran ini ditetapkan melalui Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2008.

Belakangan, pembangunan fasilitas PON di kawasan Panam, Pekanbaru, tersebut mangkrak akibat kekurangan dana. Pada akhir tahun anggaran 2011, pihak pelaksana, termasuk Dispora Riau selaku pemegang anggaran, mengklaim kekurangan dana pembangunan stadion sekitar Rp 200 miliar. Para pihak itu kemudian meminta bantuan DPRD agar meloloskan penambahan dana pembangunan PON 2012 Riau mencapai ratusan miliar rupiah.

Dalam Perda No 5/2008, DPRD Riau telah menyetujui anggaran tahun genap untuk stadion utama PON sebesar Rp 900 miliar. Ketika perda ini berakhir tahun 2011, rupanya pembangunan stadion utama untuk pembukaan dan penutupan PON pada 9 September 2012 ini belum juga rampung.

Karenanya, Pemprov Riau dan pihak DPRD Riau sempat berniat untuk membahas bersama merevisi kembali perda tersebut. Kabarnya akan ada penambahan dana hingga mencapai Rp 1,13 triliun. Hanya saja ketika masalah ini akan digodok, KPK sudah terlebih dahulu menangkap anggota DPRD Riau dalam kasus suap venue menembak.